2017年8月27日日曜日

Hanabi Menyulap Langit Menjadi Penuh Bunga di Musim Panas

Festival Hanabi di Sakura City, Chiba
Mungkin waktu kecil kita (atau paling tidak, saya) suka sekali lihat dan main dengan yang namanya kembang api.
Jaman saya kecil dahulu, kembang api yang paling populer adalah kembang api yang mesiunya menempel pada kawat besi. Lalu kita bisa memegang ujung besi yang tidak ada mesiunya, dan ujung lainnya dibakar dengan menggunakan korek api. Rasanya gembira luar biasa ketika bisa melihat percikan kembang api yang berwarna putih dan ke-emas-an. 
Kadang bila kembang api sudah agak melempem alias tidak bisa dibakar lagi, biasanya harus dijemur seharian di atas selembar kertas koran sebelum disulut kembali pada malam harinya. Jika sudah disulut, kita juga harus berhati-hati untuk memegangnya, karena pegangan besinya bisa menjadi panas dan tentu harus menjauhkan kembang api dari baju. Karena kalau ceroboh, percikan kembang apinya bisa bikin baju bolong-bolong.
Festival Hanabi di Tachikawa
Dalam artikel ini, saya hanya akan membahas kembang api khususnya di Jepang, yang disebut hanabi.
Hanabi merupakan hiburan yang boleh dibilang paling populer di musim panas dalam bulan Agustus. Dalam bulan2 ini yang bersamaan dengan liburan musim panas anak sekolah, kita bisa menemukan festival/pertunjukan hanabi di seantero Jepang. 
Pertunjukan hanabi tidak memandang besar kecilnya suatu kota, karena festival biasa diadakan mulai dari daerah kota yang besar dan padat penduduk (setingkat provinsi), bahkan bisa juga diadakan di daerah2 yang jauh dari kota dengan populasi yang sedikit (setingkat kelurahan bahkan setingkat RT/RW).
Tentunya kualitas (keindahan warna serta besarnya "bunga" hanabi) dan kuantitas (banyaknya jumlah kembang api yang dipakai) dari festival hanabi, berhubungan erat dengan lokasi dimana pertunjukan diadakan dan juga tergantung dari banyaknya sponsor (jumlah uang yang terkumpul). Lokasi yang populer di mana festival hanabi sudah puluhan kali diadakan, atau lokasi yang dekat dengan objek wisata tentunya mempunyai kualitas dan kuantitas festival yang bagus. 
Sponsor mutlak diperlukan karena untuk melaksanakan satu pertunjukan kembang api di suatu daerah, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Makin banyak sponsor yang rela merogoh koceknya dalam-dalam dan murah hati sehingga bujet nya memadai (atau kalau bisa lebih), tentunya mempunyai efek yang bagus bagi festival hanabi itu sendiri.
Lalu, kira-kira berapa sih biaya atau bujet yang harus disediakan untuk sekali festival hanabi ini ?
Harga sebuah hanabi ditentukan oleh besar/ukuran tama (tentang tama, lihat paragraf tentang "ciri khas hanabi") atau bulatan kembang apinya yang belum disulut/dilontarkan ke atas (tentang besar/kecil-nya hanabi, lihat paragraf tentang "ukuran hanabi"). Makin besar ukurannya maka harganyapun makin mahal. 
Hanabi dengan ukuran nomor 3 harganya sekitar 5 ribu yen, lalu untuk nomor 7 harganya sekitar 30 ribu yen. Ukuran nomor 20 sekitar 800 ribu yen. Ini belum termasuk biaya pemasangan/instalasi, biaya operator, dll. Bahkan saat ini banyak festival hanabi yang di-sinkron-kan dengan soundsytem dan sinar laser, yang tentunya membutuhkan lagi biaya tambahan.
Secara total, jika 10 ribu hanabi akan digunakan di festival, maka dibutuhkan biaya kira-kira  50 s/d 100 juta yen. Dalam satu festival ini, biasanya berbagai macam ukuran hanabi (tama) akan digunakan. Jadi kita bisa bayangkan, berapa kocek yang harus dikuras misalnya untuk Festival Hanabi yang terkenal di Tokyo yaitu Sumidagawa Hanabi, di mana menggunakan sekitar 22 ribu hanabi. 
Lalu tahun ini , Festival Hanabi di Danau Suwa Nagano menggunakan jumlah hanabi yang terbanyak di Jepang, yaitu 40 ribu. Kebayang nggak berapa biayanya ? Atau mungkin pembaca punya pikiran "Wah, coba kalau uangnya dipakai untuk beli bakso udah dapet berapa piring tuh ?" :)
Bila ada pembaca yang punya kesempatan datang ke Jepang di bulan Agustus dan ingin melihat hanabi, maka laman berikut bisa dijadikan referensi untuk mengetahui jadwal festival hanabi di seluruh Jepang.
Festival Hanabi di Arakawa
Sejarah Hanabi
Kalau dirunut sejarahnya, hanabi pertamakali dipergunakan oleh Kaisar Qin (259-210 BC) di Tiongkok sebagai cara berkomunikasi untuk memberitahukan jika ada pergerakan musuh yang menyerang Tembok Besar Tiongkok. Cara ini kemudian dikenal dengan nama noroshi atau komunikasi melalui asap. Noroshi ini sering juga dipergunakan untuk aba2 menyerang musuh di dalam peperangan.
Saat itu, noroshi yang merupakan cikal bakal dari hanabi, belum mempunyai wujud dan komposisi dengan warna-warni seperti sekarang. Bentuknya hanya merupakan asap dengan warna hitam atau abu2 karena bahan baku yang dipergunakan adalah mesiu hitam.
Dalam perkembangannya, kemudian teknik noroshi ini dibawa keluar dari Tiongkok oleh pedagang Eropa pada abad 14 dan mereka kemudian menyempurnakannya. Lalu pada abad 16, pedagang Eropa juga lah yang membawa teknik noroshi yang sudah disempurnakan ini ke Jepang, bersamaan dengan masuknya senapan dengan amunisi berupa bubuk mesiu yang disebut Matchlock gun (nama Jepangnya hinawajuu). 
Pada tahun 1732, di Jepang banyak orang yang meninggal karena wabah penyakit menular. Untuk memperingati arwah orang-orang yang meninggal dan untuk menghentikan wabah tersebut, maka Tokugawa Yoshimune, Shogun yang berkuasa waktu itu memerintahan untuk mengadakan Suijin Matsuri (Water god Festival) pada waktu kawabiraki , yaitu saat penanda awal musim panas di Sungai Sumida (Sumidagawa). 
Kemudian pada tahun berikutnya, toko2 teh di sekitar Sumidagawa mulai patungan untuk mengadakan festival hanabi pada tanggal yang sama dengan Suijin Matsuri  yang diadakan di tahun sebelumnya. Dan festival hanabi ini kemudian dari tahun ke tahun ditiru dan mulai berkembang di berbagai daerah. Akibatnya, sampai saat ini di setiap musim panas, festival hanabi banyak diadakan di seluruh Jepang.
Festival Hanabi di Enoshima
Bahan-bahan hanabi
Sebelum masa Meiji, bahan baku hanabi hanya berasal dari bubuk mesiu yang berwarna hitam. Sehingga variasi warna yang bisa dihasilkan belum begitu banyak ragamnya. Setelah masa Meiji, dengan masuknya bahan-bahan kimia yang beraneka ragam ke Jepang seperti potassium chlorate, strontium dan alumunium, maka warna hanabi yang dibuat berdasarkan bahan-bahan baru ini bisa bervariasi. Bahan-bahan kimia yang masuk itu sangat menunjang untuk menghasilkan berbagai macam warna dengan kualitas pancaran warna yang lebih cerah dan memukau.
Secara umum, ada 4 komponen dasar hanabi. Yang pertama adalah bahan pembantu pembakaran (oxidizer), lalu zat yang (digunakan supaya) terbakar, kemudian bahan (material) pembuat warna dan terakhir adalah material untuk membuat asap. Keindahan dari hanabi amat ditentukan oleh sinar warna yang terjadi setelah hanabi meledak di udara dan asap yang terjadi (asap dijadikan sebagai background supaya warna lebih kelihatan). Jadi, kemampuan untuk memadukan bahan pembantu kebakaran, zat yang terbakar dan material pewarna merupakan kunci dari keindahan hanabi.
Umumnya warna dasar hanabi adalah merah, kuning, hijau, putih, ungu, merah dan perak. Meracik bahan-bahan dasar pembuat warna untuk menghasilkan warna tertentu yang diinginkan memang tidak mudah. Sehingga faktanya, warna biru muda dan emerald green baru bisa diciptakan pada tahun 1998, dan warna orange pada tahun 2000.
Festival Hanabi di Chofu
Jenis-jenis hanabi
Dari semua hanabi yang ada, secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu Uchiage hanabi, Shikake hanabi dan Omocha hanabi.
Uchiage hanabi adalah jenis kembang api yang diluncurkan dan meledak di udara. Shikake hanabi adalah jenis kembang api yang dipasang di kabel yang dibentangkan di daratan ataupun di tempat lain yang statis (misalnya di panggung) bahkan ada pula yang ditaruh di atas air (misalnya di danau). 
Lalu yang terakhir Omocha hanabi adalah jenis kembang api mainan, yang dijual di supermarket dan biasanya dimainkan (disulut) di taman atau di pekarangan rumah.
Jenis hanabi yang sering dipertunjukkan di Jepang adalah Uchiage hanabi. Uchiage hanabi ini kalau dikelompokkan lagi terdiri dari 3 macam, yaitu warimono, pokamono dan han-warimono. 
Warimono adalah hanabi yang di dalamnya berisi mesiu berwarna-warni (yang biasa disebut hoshi) dan ketika meledak di udara mesiu2 ini kemudian menyebar ke segala arah. Bentuknya ada yang seperti bunga, misalnya Kiku dan Botan. Lalu ada yang seperti pohon kelapa dan ada yang berbentuk binatang seperti kupu-kupu. Bahkan, saya pernah melihat ada yang berbentuk (kepala) doraemon lho.
Pokamono adalah hanabi yang ketika diudara terbelah menjadi dua dan dari dalamnya keluarlah bentuk-bentuk yang unik seperti pohon yanagi, dan ada yang dibuat untuk mengeluarkan parasut atau baling-baling kecil. Sedangkan han-warimono adalah gabungan dari warimono dan pokamono.
Festival Hanabi di Inbanuma
Ciri Khas Hanabi
Hanabi Jepang mempunyai perbedaan jika dibandingkan dengan kembang api dari Eropa/Amerika. Dari gambar di bawah bisa dilihat bahwa hanabi Jepang (yang belum disulut/diluncurkan) berbentuk bulat (dalam bahasa Jepang disebut tama), sementara dari Eropa/Amerika bentuknya silinder.
Perbedaan yang mencolok adalah :
  • Waktu meledak diatas, hanabi bisa berbentuk bulat sempurna
  • Hoshi (mesiu berbentuk bulat kecil warna-warni) nya bisa memancarkan warna yang berbeda dan berubah ketika hanabi meledak di udara
  • Di dalam hanabi, hoshi bisa berlapis 2, 3 atau lebih
Gambaran lebih lengkap tentang perbedaan hanabi dan kembang api Eropa/Amerika bisa dilihat di gambar berikut.
Perbedaan Hanabi dengan Kembang Api Eropa/Amerika(www.hanabi-jpa.jp)
Ukuran Hanabi
Hanabi (tama) biasanya berukuran dari nomor 2.5 sampai yang terbesar nomor 40. Data dari hanabi, ketinggian yang bisa dicapai saat ditembakkan ke udara serta diameter saat meledaknya bisa di lihat di tabel berikut.
Tabel Ukuran Hanabi, Ketinggian dan Diameter saat meledaknya (www.hanabi-jpa.jp)
Teknik Fotografi Hanabi

Untuk mengabadikan hanabi dengan kamera, memang dibutuhkan teknik yang sedikit berbeda dibanding bila kita hanya ingin mengambil foto pemandangan. Tapi jangan khawatir, karena teknik pengambilan foto hanabi sebenarnya tidak begitu sulit. Yang diperlukan hanya sedikit latihan dan keuletan saja kok. 
Sebelum membicarakan teknik fotografinya, untuk mendapatkan hasil pemotretan yang optimal, maka dibutuhkan persiapan yang meliputi :
  • Check lapangan untuk menentukan posisi kamera kita dan informasi di mana spot hanabi akan ditembakkan. Karena jika tidak, maka bisa saja saat hanabi meledak di udara akan terhalang oleh gedung atau pohon (pengalaman pribadi, jika tanpa check ternyata hanabi kadang terhalang gedung atau pohon) 
  • Kalau bisa dan sempat, jangan lupa check juga arah angin pada lokasi serta jam pelaksanaan festival. Karena kalau angin tidak mendukung, maka asap dari ledakan hanabi justru akan menghalangi atau mengganggu saat kita memotret hanabi.
  • Jangan lupa bawa senter dan tripod. Senter perlu karena bisa dipastikan keadaan sekeliling akan gelap (atau remang-remang). Jadi misalnya kita mau ganti SD card atau baterai atau apapun bisa lebih membantu jika ada senter untuk membantu penerangan. Tripod diperlukan karena untuk memotret hanabi dibutuhkan exposure time lebih dari 1 detik. Jadi kalau tidak memakai tripod, maka foto bisa blur dan goyang bombay.
Festival Hanabi di Sumidagawa

Secara garis besar, teknik fotografi hanabi adalah sebagai berikut :

  • Gunakan ISO100
  • Gunakan buka'an apperture kecil (F11 ke atas)
  • Gunakan manual mode
  • Gunakan manual fokus (pertama bisa di set ke infinity, kemudian di set ulang dengan melihat hasil waktu hanabi berlangsung)
  • Mode shutter gunakan Bulb (sekitar 1 sampai 10 detik)
  • Gunakan White Balance yang fix (misalnya untuk siang hari), jangan di set ke auto
  • Kalau ada fitur noise reduction bisa dimatikan
  • Lensa bisa memakai ukuran 35mm atau 70mm (tergantung jarak kamera dan lokasi hanabi)
  • Gunakan timer untuk pengambilan foto agar mengurangi goncangan kamera
Pembaca bisa mencobanya jika ada kesempatan melihat hanabi.
Tapi, tidak usah kecewa berlebihan jika setelah berusaha maksimal, namun hasil foto hanabi yang diperoleh dirasa belum bagus atau belum sesuai keinginan. Yang terpenting adalah, kita sudah punya kesempatan untuk melihat hanabi secara langsung dan merekam semuanya itu di memori kepala kita sendiri. Percaya deh, memori yang sudah terpatri di kepala, jaaauuuh lebih baik dan berharga dibanding dengan memori di SD card atau CF card. 
Apalagi dengan sudah menonton langsung, kita juga sudah bisa menikmati suara keras dentuman yang menggetarkan tubuh khas hanabi. Semuanya itu pasti menjadi kenangan yang tidak akan bisa dilupakan.
Festival Hanabi di Chofu 
Bermain dengan Focal Length waktu memfoto hanabi 

2017年8月18日金曜日

Pelajaran yang bisa dipetik dari "saudara tua" di momen 17 Agustusan

Bulan Agustus punya arti penting bagi Indonesia juga Jepang.
Di Indonesia, setiap tanggal 17 Agustus kita merayakan hari Kemerdekaan, yang merupakan puncak dari perjuangan bangsa kita selama ratusan tahun, dan merupakan momen penting yang merubah status Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat setelah sekian ratus tahun sebelumnya adalah negara yang terjajah.
Presiden Soekarno di Relief Taman Monumen Nasional
Di Jepang, setiap tanggal 15 Agustus diperingati sebagai hari berakhirnya PD-II, dimana Kaisar Jepang  pada waktu itu mengumumkan melalui radio kepada rakyatnya, bahwa Jepang menerima penuh tanpa syarat deklarasi Postdam (alias menyerah kalah).
Tentu kita sudah tahu bagaimana perkembangan Jepang setelah hancur dan kalah di PD-II.Kurang dari 20 tahun, tepatnya di tahun 1964,Jepang dengan segera bangkit dan mampu menggelar pesta olahraga paling bergengsi di dunia yaitu Olimpik.
Bersamaan dengan Olimpik, kereta cepat pertama di dunia juga berhasil diciptakan oleh Jepang. Pertumbuhan ekonomi setelah itu tentu saya tidak perlu banyak berceria lagi. Jepang adalah negara maju dan dengan GDP urutan ke-3 setelah Amerika dan Tiongkok.
Zero Fighter
Disamping sebagai negara adidaya ekonomi, dalam bidang teknologi Jepang juga masih giat mengembangkan inovasi2 baru, misalnyadalam bidang electronik, automotif, robotik dan lainnya.
Apa sih yang bisa membuat Jepang bisa begitu cepat bangkit setelah kalah dan hancur dalam PD-II ?
Saya akan mencoba mengulasnya. Mudah-mudahan, ada pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman Jepang yang berhasil "menaklukkan" keterpurukannya setelah PD-II.

1. Kerja Total

Sifat orang memang tidak memandang ras. Dalam arti, kita bisa menemukan sifat apa saja di semua negara, tidak terkecuali Jepang.
Mungkin kita pernah mendengar tentang cerita orang yang datang untuk berlibur di Jepang, mengatakan bahwa orang Jepang itu ramah serta penjaga toko atau orang yang berhubungan dengan pekerjaan pelayanan itu semuanya murah senyum.
Sebenarnya tidak ada yang salah akan cerita dan tanggapan itu.
Untuk bagian "orang Jepang itu ramah", mungkin karena orang itu hanya tinggal di Jepang untuk waktu yang singkat. Jadi ya, mereka mungkin ketemunya dengan orang Jepang yang "kebetulan" ramah dan baik hati terus. Sebab sebagai turis, pergerakannya maupun interaksi dengan orang Jepangnya pun tidak begitu banyak dan luas. Namun fakta di lapangan, yang nggak ramah juga ada kok.
Lalu untuk bagian "penjaga toko atau orang yang berhubungan dengan pelayanan itu semuanya murah senyum" bagaimana ? Ya lumrah saja kalau mereka begitu, karena itu memang pekerjaan mereka. Kalau kerjanya melayani dan berhubungan dengan orang, ya harus senyum. Kalau nggak kan bisa "kabur" tuh orang yang dilayaninya. Kalau membuat orang kabur, bukan pelayanan dong namanya :)
Jika digali lebih dalam lagi, tentang senyam-senyumnya itu sebenarnya orang Jepang hanya melakukan apa yang jadi tugasnya. Karena mereka selalu punya prinsip, kalau sudah melalukan pekerjaan, ya harus total. Senyum merupakan bagian dari pelayanan, dan memberikan pelayanan yang terbaik memang sudah menjadi SOP (Standard Operating Procedure)nya. Jadi bisa dibilang, senyum merupakan salah satu bukti dari totalitas mereka dalam bekerja.
Lain cerita kalau dia bertugas jadi pengawas misalnya di bagian imigrasi dan SOP nya harus tegas, ya mereka tegas. Makanya kalau di Jepang, kita nggak pernah lihat petugas imigrasi yang senyum2 (atau cengengesan) kan ?
Totalitas orang Jepang dalam melakukan pekerjaan inilah, terkadang memberi dampak positif dan bahkan nilai tambah, terutama bagi sektor pariwisata. Buktinya, kalau ada yang pernah sekali ke Jepang, pasti deh kepengen balik liburan lagi kesini. Iya nggak ?
Pekerja pengatur kendaraan keluar masuk proyek bangunan di Shibuya Station 
Kerja total ini kalau dijabarkan secara luas, sudah mencakup tentang disiplin (dalam bekerja), juga termasuk tidak korupsi dalam melaksanakan tugas.
Kalau masalah disiplin, saya nggak nggak perlu cerita banyak karena pasti pembaca sudah bosan membaca betapa orang Jepang itu disiplin banget. Disiplin ini bukan hanya dari satu arah, misalnya peraturan hanya mampu berfungsi sebagai peraturan yang berwujud tulisan, tanpa ada yang mau dengan sadar menjalankannya. Disiplin, akan bisa berjalan baik kalau dijalankan dua arah. Contohnya, dengan jadwal kereta yang padat di Jepang (bahkan di jam sibuk, cuma selisih 2 menit antara satu kereta dan kereta berikutnya), kereta bisa tiba dan berangkat sesuai dengan jadwal karena ada disiplin petugas kereta yang ditunjang juga oleh disiplin dari pemakai jasa kereta.
Tentang korupsi, saya ingin memperluas cakupannya bukan hanya terfokus pada korupsi duit saja. Tapi juga korupsi waktu, korupsi kekuasaan, korupsi hak orang lain dan sebagainya.
Contohnya, saya nggak pernah ketemu atau lihat orang yang korupsi waktu. Jadi misalnya kalau sedang kerja, ya nggak ada yang ngobrol atau haha-hihi karena mereka nggak biasa korupsi waktu. Waktunya kerja ya untuk kerja, titik. Lalu, kalau misalnya pas jam istirahat mau telpon gebetan, atau telpon untuk kepentingan pribadi, ya pasti pakai telpon pribadi, bukan pakai telpon atau hape milik kantor. Jadi nggak ada yang namanya korupsi fasilitas, pakai jurus aji mumpung.
Memang kadang ada yang korupsi uang, tapi sepanjang pengetahuan saya cuma satu atau dua. Dan itupun kalau sudah ketahuan, mereka pasti bertanggungjawab, misalnya dengan berhenti dari pekerjaannya. Enggak bakalan ada yang tetep keukeuh bercokol nggak mau berhenti atau melepas kedudukannya, apalagi malah masih sempat cengengesan menampakkan diri di depan publik.
Disiplin berbaris menunggu kereta di Stasiun Musashikosugi

2. Gigih dan Ulet

Bagi yang pernah nonton drama/film Oshin pasti tau bagaimana kegigihan dan keuletan mereka. Dalam drama itu dikisahkan kehidupan tokoh utama bernama Oshin sejak kecil sampai dewasa. Cerita yang disajikan, umumnya memperlihatkan kegigihan dan keuletan Oshin, yang meskipun keadaannya seperti "sudah jatuh ketimpa tangga dan kejedot pintu", tapi masih kuat untuk "berlari" sprint.
Contoh lain lagi, di berbagai pertandingan internasional, sebutlah saja pertandingan sepak bola, kita sering melihat bahwa walaupun tim Jepang sudah ketinggalan jauh berapapun poinnya dari lawan, namun mereka masih gigih dan ulet untuk bermain dan mengejar ketinggalan, bahkan di di menit2 terakhir.

Bagaimana orang Jepang itu bisa tahan banting dan ulet ?
Kalau digali lebih dalam, ternyata kegigihan mereka adalah sebagai hasil pengalaman mereka, akibat dari interaksi dengan alam. Dan hebatnya, spirit ini sudah tertanam sejak dahulu, dan terus menerus diturunkan ke generasi berikutnya.
Jepang adalah negara kepulauan yang memanjang dari barat daya ke timur laut. Daratan kepulauan yang memanjang itu luasnya hanya sekitar 0.28% dari luas daratan di seluruh dunia. Namun dengan hanya luas yang seperti itu, dari seluruh gempa bumi yang terjadi didunia yang berskala Magnitude 6 keatas, hampir 20.5% nya terjadi di Jepang. Ditambah lagi, dari seluruh gunung berapi yang masih aktif, 7% nya ada di Jepang.

Dengan demikian bisa kita ketahui, betapa seringnya bencana alam, terutama gempa bumi yang terjadi di Jepang. Belum lagi bencana angin topan, hujan yang mengakibatkan banjir, bencana yang diakibatkan oleh salju dan lainnya. Oleh sebab itu, untuk bertahan dan demi kelangsungan hidup, orang Jepang dituntut untuk berusaha lebih keras dan gigih dibanding dengan masyarakat di negara2 lain.
Ungkapan seperti lagu Kolam Susu yang dinyanyikan Koes Plus yang berbunyi "Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman" tentunya tidak berlaku. Kalau tidak berusaha misalnya bercocoktanam untuk kemudian hasilnya disimpan, mengumpulkan kayu untuk memasak atau memanaskan ruangan dan berburu hewan misalnya untuk dibuat baju atau alas tidur, bagaimana bisa bertahan hidup dan melewati musim dingin karena tidak ada yang dimakan dan tidak punya sesuatu untuk menahan dingin yang menusuk tulang ?
Jaman sekarang, orang Jepang tentu juga tetap harus gigih dan ulet untuk bisa mempertahankan hidup. Walaupun tidak harus bercocoktanam, karena sudah tergantikan dengan bekerja sesuai dengan ketrampilannya masing2.

Mungkin masih tersisa di ingatan kita akan bencana gempa bumi yang menyebabkan Tsunami, kemudian juga menjadi bencana ledakan PLTN di daerah Tohoku 6 tahun yang lalu. Waktu itu, bukan hanya daerah bencana saja yang terkena dampaknya. Namun karena ada ledakan PLTN, maka seluruh Jepang terkena imbas dari bencana tersebut. Namun sekarang, kebanyakan daerah bencana sudah ditata kembali dan kehidupan di sana sudah berangsur normal. Semuanya adalah hasil dari kegigihan dan keuletan mereka.

3. Budaya Malu

Sejak dari kecil, orang Jepang sudah diajari yang namanya shitsuke. Shitsuke ini memang istilah khusus bahasa Jepang, yang agak susah dicari padanannya dalam bahasa lain. Kalau dalam bahasa Indonesia, mirip sedikit dengan "disiplin". Tapi ini kurang cocok karena tidak bisa mewakili nuansanya secara luas.
Malu tapi jangan sampai malu2-in
Shitsuke ini adalah suatu proses pembelajaran (terutama pembelajaran mental) yang dilakukan oleh masyarakat maupun lingkungan (termasuk orang tua), yang mengantarkan seseorang dari usia dini sampai dia menjadi manusia dewasa. Tujuannya adalah agar si anak tersebut kelak bisa hidup dan menyesuaikan diri dengan masyarakat, bisa menjaga dan berkelakuan sesuai dengan norma2 positif yang berlaku dimasyarakat secara umum, mulai dari hubungan antar manusia di lingkungan tempat hidupnya, maupun hubungan antar manusia dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya kelak jika dia sudah bekerja.
Kalau di barat, ada "Budaya Dosa", yang muncul akibat dari pemahaman bahwa mata Tuhan ada dimana-mana, sehingga manusia dalam perbuatannya haruslah berhati-hati karena Tuhan bisa mengawasi segala gerak gerik kita.
Di Jepang, ada "Budaya Malu", yaitu budaya yang mengutamakan pandangan atau penilaian orang2 disekelilingnya. Jepang merupakan negara dengan populasi yang padat serta masih menjunjung tinggi asas kelompok. Jadi kalau ada orang yang berperilaku agak "lain", terutama jika perilakunya itu tidak sejalan dengan kelompoknya atau tidak sesuai dengan norma2 yang berlaku di kelompoknya, maka akan dengan mudah kelihatan. Akibatnya, dia bisa dianggap aneh lalu dipandang dengan mata sinis.

Orang Jepang selalu waswas dalam segala tindak tanduknya karena dia tidak mau diolok2 atau dipermalukan/ditertawakan akibat perbuatannya. Dalam setiap gerak geriknya, orang Jepang selalu berhati-hati karena dia tahu mata masyarakat akan mengawasinya. Budaya malu inilah yang menjadi "pengawas" dari setiap tindakannya.
Shitsuke yang diajarkan dan sudah mendarah daging dalam diri orang Jepang, akan membantu mereka untuk bertindak karena sejak kecil mereka sudah paham akan norma2 yang berlaku dalam masyarakat. Jadi sebisa mungkin mereka tidak akan melakukan sesuatu yang "melenceng" dari norma2 tersebut.
Maka di Jepang, jika ada orang yang ketahuan berbuat salah, nggak usah dicecar dan dihujat di sosmed pun mereka langsung mundur atau berhenti. Karena mereka mempunyai "Budaya Malu" yang sudah mendarah daging, dan mereka amat sangat takut akan hukuman sosial yang akan diterima bila mereka tidak segera mundur (atau misalnya minta maaf atas perbuatannya).

4. Menghargai waktu

"Toki wa kane nari" (Time is Money ) kalau bagi orang Jepang bukan cuma kata2 indah peribahasa, tapi kita bisa liat pengejawantahannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau kita lihat orang Jepang selalu terburu-buru dijalan, itu sudah merupakan suatu contoh bahwa mereka itu sangat menghargai sama yang namanya waktu. Mereka nggak mau telat sedikitpun.
Situasi di dalam kereta. Ada yang membaca, main hape, tidur, pokoknya bermacam-macam
Orang Jepang juga suka menggosip, atau kepo (ber-sosmed-ria), tapi kebanyakan hanya sambil lalu saja untuk intermezzo dan nggak sampai berlebihan. Seperti isu2 sekitar masalah politik, saya jarang sekali menemukan mereka ber-gossip ria sampai berlebihan. Misalnya ada menteri (bahkan PM sekalipun) atau pejabat yang melakukan blunder, terkadang kita juga komentar atau berdiskusi waktu jam makan siang sambil menikmati lunch atau malam hari ketika sedang makan/minum di izakaya di hari yang sama. Namun hari2 setelah itu, ya hilang deh itu gossip. Sudah tidak ada waktu lagi untuk ber-gossip-ria karena pekerjaan sudah menumpuk.
Bagi rakyat Jepang, mereka lebih suka waktunya dihabiskan untuk kepentingan masing2 yang bermanfaat. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan (dan kemajuan) diri sendiri ini otomatis juga menghargai waktu yang juga sudah menjadi hak orang lain. Yang kerja ya ngurusin gaweannya, yang sekolah ya ngurus sekolahnya. Yang ingin menambah pengetahuan (misalnya pengen bisa bahasa Inggris) ya pergi ke tempat kursus, dan lain2.

5. Religi

Mungkin ada yang mengira bahwa orang Jepang bukan orang yang religius. Alasannya, jarang liat orang berdoa misalnya di kuil.
Sebenarnya cara perwujudan kereligiusan orang Jepang itu memang nggak seperti yang kita kira. Kehidupan religi mereka tidak bisa dilihat hanya dari luar, atau dari "baju" nya. Mereka langsung menerapkan kereligiusan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh yang sederhana. Kalau mereka makan nasi, pasti mereka tidak akan menyisakan satu bulir-pun nasi di piring di piring bekas makan. Walaupun ada juga yang menyisakan, tapi jumlahnya sedikit menurut pengalaman saya.
Kenapa bisa begitu ?
Karena mereka tahu bahwa nasi adalah anugerah dari "yang menguasai alam semesta" dan hasil interaksi mereka dengan alam (mengolah dan memanen). Dengan menghabiskan nasi tanpa sisa itu adalah cara mereka berterimakasih akan anugerah dari penguasa semesta, sekaligus berterimakasih kepada alam dan orang2 yang sudah bersusah payah menyediakan makanan tersebut. Itulah sebabnya orang Jepang mengucapkan "Itadakimasu" sebelum makan. Begitu juga ucapan "Gochisousama" setelah makan, adalah wujud dari ungkapan terimakasih atas berkat makanan yang sudah bisa dinikmati.
Kuil Kasuga Taisya di Prefektur Nara yang merupakan salah satu dari World Heritage 
Sumber pemikiran orang Jepang kebanyakan berasal dari ajaran Konfusianisme yaitu Jingi dan Buddhisme yaitu Jihi.
Jin dalam Jingi mirip dengan ajaran moral tentang bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik, layaknya seperti seorang ibu yang memperlakukan atau mengasihi anaknya. Sifat ini umumnya memang lebih condong kepada sifat keibuan. Gi adalah sifat berani dan tegas dalam membela dan membantu orang yang benar walaupun dia harus mengorbankan diri sendiri. Dengan keberanian dan ketegasan ini, maka sifat Gi lebih condong kepada sifat kelaki-lakian.
Dalam kehidupan, pengamalan Jingi harus seimbang. Sebab kalau tidak maka akan terjadi seperti yang pernah dikatakan oleh Date Masamune, seorang daimyou yang terkenal dari Sendai, yaitu "Jika orang lebih condong ke Gi maka sifat orang itu akan kaku. Namun kalau lebih condong ke Jin, maka orang itu akan lemah".

Ji dalam Jihi adalah sifat untuk memberikan sesuatu yang diinginkan oleh orang lain. Misalnya, kalau ada seseorang yang sedang bergembira, maka dengan kita ikut bagian dan turut memberikan kegembiraan kita, maka rasa kebahagiaan orang itu akan berlipat. Hi adalah kebalikannya, yaitu mengambil atau menghilangkan sesuatu yang tidak diinginkan orang lain. Misalnya ada orang yang kesusahan atau kesulitan, dengan membatu orang tersebut menghilangkan kesusahan atau kesulitannya, maka kesusahan yang dirasakan orang tersebut bisa berkurang.
Jingi dan Jihi ini sudah tertanam dan melekat di dalam spirit nenek moyang orang Jepang sejak dahulu kala, dan tentunya juga sudah diturunkan secara terus menerus ke generasi sesudahnya.
Selain Jingi dan Jihi ini, di sekolah2 Jepang tingkat rendah ada yang namanya pelajaran karakter dan moral. Di sekolah2 dengan tingkatan yang lebih tinggi, ada pelajaran tentang Etika. Pelajaran semacam ini berfungsi untuk memperkuat pribadi dan karakter masing2 anak seiring dengan pertumbuhannya menjadi dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat kelak di kemudian hari.

Tidak ada pelajaran agama yang diajarkan di sekolah2 Jepang. Hal2 mengenai mana yang baik dan mana yang bukan, sudah diajarkan semenjak kecil melalui shitsuke, pelajaran karakter dan moral. Mungkin karena dasar itulah, orang Jepang juga lebih terbuka untuk mengadopsi hal2 yang baik yang bisa didapat, terutama hal2 yang berhubungan dengan agama (apapun). Ini bisa dilihat bahwa kebanyakan orang Jepang mengamalkan ajaran Shinto untuk bayi yang lahir, kemudian menikah di Kapel atau Gereja. Ketika meninggal, mereka didoakan di kuil agama Buddha.
Tugu Selamat Datang mengucapkan Selamat Datang usia ke-72

Indonesia mau kemana ?
Hari ini, 72 tahun sudah berlalu dari momen Proklamasi Kemerdekaan.
Di Jepang, ada istilah untuk tiap momen perayaan ulang tahun mulai dari ulang tahun yang ke 60 lalu kelipatan 10 tahun setelahnya. Di usia 70 tahun disebut koki, yang berarti langka. Sebab jaman dahulu, merupakan hal yang amat langka jika orang bisa mencapai usia 70 tahun.
Tentunya kita harus bersyukur, karena kita bisa melalui momen yang "langka" dan tahun ini sudah masuk ke tahun 72 setelah proklamasi kemerdekaan. 72 tahun bukanlah rentang waktu perjalanan yang singkat. Juga bukan hal yang mudah untuk menjaga kedaulatan negara selama itu.
Tahun depan, bisa diprediksi akan menjadi tahun2 yang kembali "panas", karena akan dilangsungkan pilkada dan tahun berikutnya akan dilangsungkan pilpres.

Saya tidak bisa berpesan atau menghimbau apa2 karena saya bukan orang yang berkompeten untuk hal yang demikian. Namun saya punya sedikit keinginan. Boleh kan ?
Mudah-mudahan ketika nanti saya liburan pulang kampung, saya masih bisa menemukan dan menikmati bakso dan es cendol kegemaran saya di pertigaan dekat rumah. Mudah2 an juga warung tetangga saya masih buka, soalnya kalau enggak susah sekali misalnya kalau dirumah kehabisan gula, atau aqua. Semoga ketoprak yang jualan keliling juga masih ada, soalnya lumayan kalau malam2 perut tiba2 terasa lapar. Semoga jalan nggak tambah macet, terutama macet karena demo dan sejenisnya.
Saya juga berharap, agar kehidupan di Indonesia akan bisa berjalan seperti "biasa" di masa2 akan datang.
Karena kehidupan biasa yang saya jalani sehari-hari, bagi saya sebenarnya adalah rentetan mukjizat, yang bisa saya rasakan.
Selamat Ulang Tahun ke-72 Indonesiaku !