2018年7月31日火曜日

Perjuangan Makan Rendang di Festival Indonesia 2018 Hibiya Park

Pintu masuk Festival Indonesia
Tanggal 28 Juli yang lalu, angin topan nomor 19 atau yang diberi nama angin topan Jongdari yang berasal dari Laut Pasifik, mendarat di Pulau Honshuu dari arah timur lalu ke barat dengan lintasan pergerakannya seperti huruf "S" terbalik. Kabarnya angin topan ini memakan korban 1 orang, yang dinyatakan hilang.
Di Tokyo pun hempasan angin kencang sudah terasa sejak Sabtu lalu dan cukup sering hujan besar turun dengan tiba-tiba walaupun tidak untuk jangka waktu yang lama. Saya sebenarnya rencana pergi ke Festival Indonesia, tangal 28 Juli (Sabtu) kemarin. 
Namun, karena angin topan (yang memang banyak terjadi di sekitar musim panas seperti sekarang ini) yang datang, maka saya mengurungkan niat. Karena itu, baru hari Minggu tanggal 29 Juli, kesampaian niat saya untuk mengunjungi Festival.
Tahun ini hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang memasuki tahun ke-60. Perjanjian perdamaian antara Indonesia dan Jepang ditandatangani pada tanggal 20 Januari 1958, dan sejak itu pula hubungan diplomatik antara kedua negara mulai terjalin. Indonesia dan Jepang merupakan mitra strategis, dimana Jepang menduduki urutan ke-3 sebagai pasar ekspor dari produk-produk Indonesia. 
Sebaliknya bagi Indonesia, Jepang adalah investor kedua terbesar, khususnya di sektor infrastruktur. Kerjasama dari kedua negara dilakukan di berbagai bidang, tidak hanya dalam bidang ekonomi dan politik, namun juga dalam bidang sosial sampai dengan budaya.
Lokasi Festival Indonesia di Hibiya Park
Momen peringatan 60 tahun hubungan diplomatik kedua negara diperingati dengan berbagai acara yang dilangsungkan baik di Indonesia maupun di Jepang. Di Indonesia, awal tahun ini diadakan pertandingan persahabatan J League Asia Challenge antara Tokyo FC dan Bhayangkara FC. Selain itu banyak juga diadakan pergelaran budaya Jepang di Indonesia. Di Jepang sendiri, ada beberapa acara yang berhubungan dengan itu. 
Misalnya pada bulan April lalu dilangsungkan acara simposium yang membahas tentang hubungan antara Indonesia dan Jepang, terutama dalam hal bisnis. Acara ini dibuka oleh Wapres Jusuf Kalla.
Kemudian masih dalam rangka momen 60 tahun tersebut, diadakan acara Festival Indonesia di Hibiya Park, yang dihadiri oleh Ibu Megawati Soekarnoputri, Menko PMK Puan Maharani, MenKUKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, Dubes RI untuk Jepang Arifin Tasrif, Wakil Menlu Jepang Iwao Horii, Wakil Presiden Japan-Indonesia Association Kojiro Shiojiri, Anggota DPR RI Herman Hery, serta Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey.
Hibiya Park merupakan taman kota yang berada dekat dengan pusat bisnis Yuurakucho maupun Stasiun Tokyo dan juga dekat dengan lokasi beberapa gedung pemerintahan dan juga gedung parlemen Jepang yang berada di area Kasumigaseki. Luas area taman sekitar 162 ribu meter persegi, dimana selain dilengkapi dengan panggung permanen untuk pementasan, juga banyak ditumbuhi pepohonan dan ada lapangan rumput luas di tengahnya. 
Karena lokasinya yang strategis dan juga kemudahan akses terutama melalui jalur transportasi publik seperti kereta api, maka Hibiya Park sering digunakan untuk berbagai macam acara, misalnya festival, acara kebudayaan dan acara lainnya.
Promosi dari salah satu stan yang memajang replika Komodo
Festival Indonesia digelar 2 hari di sini, yaitu tanggal 28 dan 29 Juli 2018. Festival Indonesia ini diisi dengan panggung pagelaran budaya tradisional Indonesia, pameran hasil kerajinan dan juga penjualan produk makanan/minuman indonesia, workshop untuk anak-anak, area kuliner yang menyajikan makanan Indonesia, serta promosi (wisata) dari berbagai daerah di Indonesia dan terutama promosi Asian Games yang kurang dari satu bulan lagi akan dilangsungkan di Jakarta dan Palembang.
Sayangnya, saya tidak sempat menikmati pementasan Tari Salman dan juga parade serta pertunjukan Reog Ponorogo, karena sepertinya acara itu hanya dilangsungkan di hari pertama. 
Di hari kedua, saya sempat menikmati pertunjukan angklung, lalu juga menikmati alunan lagu dari Keroncong Tugu yang menyanyikan lagu-lagu daerah Indonesia dan juga lagu Jepang yang bisa dikatakan paling populer di Indonesia yaitu kokoro no tomo.
Pengunjung yang antusias mendengar serta berjoget dengan iringan Keroncong Tugu 
Di area workshop, pada hari Minggu saya melihat anak-anak serius mengikuti acara mewarnai topeng. Topeng kecil seukuran tangan kemudian diwarnai dengan cat yang sudah disediakan. Lalu ada juga beberapa stan yang menjual produk makanan dipenuhi pengunjung, karena mungkin mereka juga tidak sempat datang di hari sebelumnya, terlebih  karena memang beberapa memberikan diskon khusus sampai dengan 50 persen.
Antusias dari masyarakat Indonesia yang tinggal di Tokyo (dan sekitar) serta masyarakat Jepang sendiri amat besar, terlihat dari pengunjung yang membeludak menghadiri acara ini. Suasananya di dalam area festival seperti di Indonesia, karena kita bisa mendengar percakapan dalam Bahasa Indonesia dan beberapa bahasa dari daerah lain di Indonesia. 
Pengunjung terlihat ceria karena selain bisa melupakan sejenak rasa penat setelah seminggu bekerja, pastinya mereka juga senang karena bisa menikmati masakan Indonesia, yang memang jarang ditemukan di Tokyo.
Seperti juga saya, sangat antusias karena saya bisa memuaskan keinginan saya untuk menyantap hidangan Indonesia. Memang ada beberapa restoran yang menyajikan masakan Indonesia di Tokyo, dan juga di daerah sekitar seperti di Yokohama sampai ke Hiratsuka, dimana letaknya satu sama lain saling berjauhan. 
Namun khusus hari itu, kita bisa langsung mencoba semuanya hanya dalam beberapa langkah kaki saja karena stan mereka berdekatan jaraknya.
Antri panjang di stan Restoran Padang
Tapi tunggu dulu. Walaupun jarak antara stan berdekatan, namun tidak mudah untuk mendapatkan makanan yang kita inginkan karena harus berjuang diantrean yang panjang. Sehingga saya harus pikir-pikir untuk antre di stan yang mana, karena saya memperkirakan butuh waktu lebih dari 30 menit untuk sampai ke baris paling depan.
Setelah menimbang sejenak, maka saya memutuskan untuk antre di stan yang menjual rendang karena saya tidak tahu lokasi warung si empunya walaupun namanya ditulis besar-besar di stan. Selain itu, karena selama ini saya belum bisa menemukan restoran yang menjual rendang yang "enak" di Tokyo. 
Warung Sederhana Padang
Saya juga membayangkan, kalau melahap nasi panas dengan lauk rendang yang pedas di musim panas dan berkeringat seperti ini, tentunya akan bisa membuat sensasi tersendiri.
Setelah antre, perkiraan saya tidak meleset karena butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke barisan paling depan. Namun, saya kecewa karena ternyata nasi sudah habis dan kalau "ngotot" mau makan nasi juga,  harus rela menunggu sekitar 30 menit lagi! Tentunya saya tidak mau membuang waktu untuk menunggu lebih lama, karena perut sudah tidak bisa diajak kompromi. Sehingga saya memesan rendangnya saja tanpa nasi, dan berencana untuk menyantapnya di rumah. 
Untuk mengganjal perut yang sudah "menagih" jatah, saya hanya memesan risoles dan es rujak di stan itu. Saya lalu pindah ke stan lain untuk kembali antre memesan bakso serta siomay, kemudian setelah selesai melahapnya ganti antre di stan yang lainnya untuk membeli batagor, dan tak ketingalan es campur untuk melepas rasa dahaga. Pokoknya, waktu saya habis hanya untuk antre dan makan saat itu :)
Lapangan rumput di Hibiya Park 
Walaupun kecewa karena saya tidak bisa menyantap rendang di area festival, namun saya puas karena akhirnya saya bisa makan rendang dengan nasi hangat setelah saya pulang ke apartemen. Memang makan rendang dengan nasi hangat bisa menimbulkan sensasi yang tersendiri. 
Terutama bagi saya yang sudah terbiasa dengan masakan Jepang, yang menurut lidah saya sedikit "garing" karena hanya mempunyai rasa asin dan sedikit manis. Rasa dari masakan Indonesia, terutama rendang yang "nanonano", memang tidak ada bandingannya di dunia!
Di acara Festival Indonesia itu saya tidak sempat menyaksikan pertunjukan artis seperti RAN dan GIGI karena saya harus antre makanan dan juga saya sempatkan untuk melihat-lihat stan pameran dari berbagai instansi yang memamerkan hasil kerajinan serta makanan dari Indonesia. 
Saya hanya sempat melihat parade Ondel-ondel yang berkeliling area. Kemudian saya juga sempat membeli kopi Toraja dan kerupuk udang, yang bisa saya nikmati nanti ketika saya "kangen" Indonesia.
Parade ondel-ondel berkeliling area Festival 
Acara Festival Indonesia ini menarik karena memang di Hibiya Park tersedia berbagai fasilitas seperti bangku dan taman yang bisa dipakai untuk duduk dan menikmati makanan. Lapangan rumput juga ada, sehingga bisa dipakai untuk beristirahat sambil berselonjor. 
Bahkan toilet pun juga cukup tersedia di dalam area taman. Pepohonan yang rindang serta adanya air mancur dan beberapa kolam juga menambah sejuk suasana, terutama di musim panas seperti sekarang ini.
Semoga acara seperti ini lebih sering diadakan, karena selain bisa mengobati rasa kangen para perantau seperti saya akan cita rasa masakan Indonesia, tentunya juga bisa jadi ajang untuk promosi Indonesia di Jepang.
Akhirnya menyantap rendang dengan nasi hangat di rumah plus batagor

2018年7月20日金曜日

Napak Tilas Basho ke Matsushima, Mengarungi Sekat Ruang Waktu dan Sejarah


Pemandangan Matsushima
Setelah perjalanan napak tilas Basho ke Yamadera (Akita Prefecture), saya mengunjungi Matsushima yang berlokasi di Miyagi Prefecture.
Daerah Matsushima merupakan teluk dengan pantai yang berpola Rias Coastal dimana ada sekitar 260 pulau dengan berbagai ukuran yang bertebaran disekitarnya. Uniknya, semua pulau ini masing-masing mempunyai nama. Matsushima juga termasuk sebagai salah satu dari Nihon Sankei (Three views of Japan).
Nama Matsushima sendiri sudah terkenal sejak era Heian (794-1185 AD) karena sering dipakai sebagai utamakura, yaitu sebagai obyek yang dipilih banyak orang ketika menulis Waka (Puisi Jepang). Matsushima juga tidak bisa lepas dari nama besar Date Masamune, seorang Daimyou yang mengepalai daerah Sendai (Sendai-han). Ada beberapa bangunan (kuil) yang berhubungan dengan Date Masamune di sekitar Matsushima.
Diorama di Museum yang menggambarkan Date Masamune sedang memimpin rapat
Sebenarnya perjalanan Basho ke Matsushima menggunakan perahu, setelah singgah terlebih dahulu di Shiogama Jinja (Shiogama Shrine) yang terletak di selatan Matsushima. Saat ini masih ada jalur perahu pariwisata dari Shiogama ke Matsushima, dan banyak juga peminatnya. Namun dari segi kepraktisannya dan terlebih untuk menghemat waktu, maka saya menggunakan transportasi kereta api untuk mengunjungi Matsushima.
Jika ingin mengunjungi Matsushima menggunakan kereta api, Matsushima Kaigan adalah stasiun terdekatnya. Dan ketika kita keluar dari stasiun, maka didepan mata sudah terbentang lautan biru luas. Bau air laut bahkan sudah bisa kita cium waktu kita masih dalam perjalanan dengan kereta api. Memang jalur kereta api Senseki Line--yang membawa saya dari stasiun Sendai di pusat kota Miyagi sampai ke Matsushima--akan melalui jalur pantai, beberapa kilometer setelah keluar dari pusat kota.
Setelah keluar dari stasiun dan berjalan lurus mendekati pantai, maka ada dua pilihan jalan yaitu ke kanan atau ke kiri. Saya memilih belok ke kanan dahulu, karena dengan begitu saya bisa menyusuri Matsushima dari arah Selatan, seperti juga halnya Basho sewaktu dia datang kesini, ratusan tahun yang lalu. Pantai di teluk Matsushima sangat tertata rapi, sehingga mudah dan nyaman untuk menyusurinya dengan berjalan kaki.
Jalur Orang dan Kendaraan tertata rapi 
Selain karena adanya jalur khusus bagi pejalan kaki, kenyamanan bisa didapat karena di beberapa bagian banyak pohon pinus (matsu)--seperti namanya Matsushima-- yang tumbuh di jalan sehingga sengatan matahari tidak terkena langsung ke kulit (badan). Teluk Matsushima memang tidak begitu banyak memiliki bagian pantai pasir, sehingga kita bisa menyusuri pantai melalui jalur khusus untuk pejalan kaki yang tertata dengan rapi di samping jalur jalan untuk kendaraan umum ini.
Setelah berjalan kira-kira 2 Km ke arah Selatan, kita bisa sampai ke dekat lokasi salah satu pulau yang bernama Pulau Oshima. Pulau Oshima ini katanya adalah asal muasal daerah sekitar ini dinamai Matsushima. Pulau ini dihubungkan dengan jembatan shunuri (warna merah) yang bernama Togetsukyou dari daratan. 
Kalau kita menyeberang melalui jembatan ini, maka di ujung sisi yang berlawanan kita langsung bisa melihat banyak gua kecil dan beberapa dengan patung di dalamnya. Dahulu, pulau ini banyak dikunjungi oleh biarawan Buddha karena pulau ini dipakai sebagai tempat untuk memperdalam pengetahuan agama maupun sebagai salah satu tempat ziarah. 
Di gua-gua kecil yang banyak kita lihat tadi setelah menyeberang jembatan dan di sekitar pulau, mereka biasa bersemadi, atau mereka menaruh patung dewa yang dipakai untuk berdoa oleh orang-orang yang berziarah. Dahulu ada sekitar seratusan gua di sini, namun sekarang jumlahnya berkurang drastis hingga hanya tersisa sekitar 50 saja.
Togetsukyou yang menghubungkan daratan dan Pulau Oshima 
Suasananya di Pulau Oshima sangat sepi dan hening. Sehingga mungkin ini juga menjadi alasan mengapa zaman dahulu tempat ini dipakai untuk bersemadi. Hanya sesekali suara angin sepoi-sepoi yang bertiup melewati daun matsu yang tumbuh di pulau (dan juga di sepanjang pantai maupun pulau lain) menimbulkan bunyi gesekan yang halus, sehingga nikmat untuk didengar.
Karena spot Matsushima yang saya ingin kunjungi di selatan hanya satu yaitu Pulau Oshima ini, maka setelah puas berkeliling saya kembali ke arah stasiun (utara) untuk melihat bagian yang lain di Teluk Matsushima. 
Dari stasiun bila kita belok arah ke kiri, ada kuil yang bernama Godaidou. Kuil Godaidou yang berdiri sekarang ini, dibangun oleh Date Masamune pada tahun 1604 dan merupakan salah satu dari kuil yang ditetapkan sebagai bangunan peninggalan kebudayaan (bersejarah) yang penting di Jepang (Juuyou-bunkazai). Bangunan Godaidou tergolong kecil, hanya berukuran sekitar 6x6 meter. 
Namun ukiran pada kayu tiang penyangga kuil, dan arsitektur dari bangunan kuil itu sendiri adalah yang tertua di daerah Tohoku, yang merupakan peninggalan dan bukti sejarah dari arsitektur era Momoyama.
Godaidou 
Kuil ini dikenal dengan nama Godaidou (go merupakan Bahasa Jepang dari angka lima) karena En-Nin, yang juga merupakan Biksu yang membangun Yamadera, menempatkan lima patung Godai-Myouou (vidya-raja atau Wisdom King) dengan formasi satu di tengah dan empat di kelilingnya yang posisinya sama dengan 4 arah angin (Barat-Timur-Utara-Selatan). 
Tidak seperti patung di kebanyakan kuil yang bisa dilihat setiap saat, pintu dari kuil ini akan dibuka dan patung bisa dilihat oleh umum hanya satu kali dalam kurun waktu 33 tahun. Tahun 2039 nanti adalah tahun dimana masyarakat bisa menyaksikan Godai-Myouou.
Dari tempat ini kita juga bisa memandang pulau-pulau kecil yang berada di sekitarnya. Kita bisa melihat dengan jelas lapisan tanah dan bebatuan yang membentuk pulau berwarna putih kekuningan tergerus arus ombak laut. Ombak disekitar pulau memang tidak terlalu besar sewaktu saya berkunjung kesana. Namun karena laut yang dangkal (kedalamannya kurang lebih 2 meter), maka kalau ada ombak yang agak besar, kabarnya kita bisa melihat butiran pasir di dasar laut ikut terangkat ke permukaan.
Bebatuan pembentuk Pulau tergerus air dan angin dengan bergulirnya waktu
Di samping lokasi Godaidou, ada jembatan Fukuura-bashi yang panjangnya sekitar 252 meter. Jembatan ini menghubungkan daratan dengan Pulau Fukuura-shima. Pulau ini berfungsi sebagai taman, dan kita bisa berkeliling di dalamnya. Sayangnya, saya tidak punya cukup waktu untuk berkeliling di dalam, sehingga saya hanya mencoba menyeberang jembatan lalu kembali lagi ke daratan.
Bagi anda yang punya waktu banyak, anda bisa juga mencoba naik perahu wisata untuk cruising ke beberapa pulau yang ada disana. Jalur untuk cruising (rutenya) pun bervariasi. Harga tiketnya juga bervariasi sesuai dengan rute atau jumlah pulau yang dilalui. Tiket untuk berkeliling bisa langsung dibeli di dekat lokasi bersendernya perahu wisata.
Fukuura-bashi yang menuju Fukuura-shima
Setelah puas melihat pemandangan laut dan pulau, kemudian saya masuk lebih dalam ke daratan untuk mengunjungi kuil Zuiganji. Kuil ini merupakan salah satu dari National Treasure di Jepang. Kuil pertama kali dibangun pada tahun 828 oleh En-Nin, yang kemudian melalui beberapa pergolakan sejarah, kuil ini berpindah tangan ke beberapa penguasa di zamannya. Kemudian perombakan besar-besaran kuil dilakukan oleh Date Masamune, yang kemudian menyelesaikan pembangunan kembali kuil pada tahun 1609. Beberapa bagian yang asli dari kuil ini masih bisa kita saksikan sekarang, misalnya bangunan utama atau Hondou, Kuri atau dapur, maupun lorong di beberapa komplek bangunan kuil, ditambah beberapa gapura utama.
Pintu Masuk Utama Kuil Zuiganji 
Di komplek kuil juga ada banyak gua yang dipakai untuk mengenang atau mendoakan arwah orang yang sudah meninggal. Jasad orangnya sendiri tidak ditaruh disana, namun hanya nama orangnya yang ditulis di sebilah kayu panjang yang disebut touba. Di beberapa gua ada juga ada pahatan berbentuk stupa dan patung dewa.
Komplek kuil Zuiganji memang luas, selain itu banyak pepohonan yang tumbuh baik di dalam maupun di sekitar lingkungan kuil, yang membuat suasana menjadi teduh dan asri. . Banyaknya pohon bukan hanya disekitar sini saja, namun di sebagian besar daerah Matsushima. Bahkan Sendai, sebagai ibukota dari Miyagi memiliki julukan Mori-no-Miyako, kota dengan banyak pepohonan.
Bangunan utama Hondou di komplek kuil Zuiganji mempunyai tipe arsitektur irimoya-dzukuri, yaitu atap seperti tangan mengatup, yang kita juga bisa lihat di banyak rumah di Indonesia. Di dalamnya kita bisa melihat 10 ruangan, dimana dinding maupun sekat ruangan diberi lukisan yang berlatar keemasan dengan motif lukisan bervariasi. Kita bisa melihat motif untuk lukisan pada dinding, mulai dari berbagai macam pepohonan seperti Matsu dan Sakura, kemudian hewan seperti burung dan Sujaku (Merak) maupun bunga, seperti Tsubaki, Yuri, maupun Botan. 
Lukisan dinding di tiap ruangan mempunyai tema yang berbeda. Misalnya ada yang bertema tentang kelahiran dan perjalanan hidup Sang Buddha, ada juga tentang pemandangan di 4 musim. Ada juga lukisan yang mengisahkan keperkasaan Date Masamune yang digambarkan dengan Burung Elang. Yang pasti, di setiap ruangan itu  kita bisa menikmati karya para maestro seni, terutama seni lukis yang berbeda dan sekaligus populer di zamannya. 
Basho sendiri menuliskan dalam catatan kunjungannya kesini di buku Oku no hosomichi, bahwa gemerlap keemasan dari gambar-gambar di dinding bisa membawa kita seperti ke alam nirwana di dunia ini.
Bangunan utama Hondou di Kuil Zuiganji yang merupakan National Treasure
Kuil Zuiganji ini merupakan tempat saya terakhir berkeliling di Matsushima. Saya menghabiskan waktu sekitar 5 jam berkeliling Matsushima. Sebenarnya ada juga beberapa objek wisata lain seperti museum, maupun beberapa kuil lagi baik yang besar maupun kecil yang juga saya kunjungi. Mungkin saya bisa menuliskan itu semua dilain kesempatan. 
Bagi penggemar kuliner, terutama kuliner hasil laut, di Matsushima anda juga bisa menikmati kelezatan Udang Bakar, Kerang dan Kaki (Oyster). Bagi penggemar Oyster, nama Matsushima tentunya sudah tidak asing lagi, selain Oyster dari daerah Hiroshima. Dan anda bisa memakannya mentah atau setelah dibakar/dipanggang dengan shichirin (kompor arang portabel).
Kuri atau Dapur di Area Kuil Zuiganji yang juga merupakan National Treasure
Saya merasakan perjalanan napak tilas kali ini ke Matsushima, agak lain dengan perjalanan yang saya tuliskan terlebih dahulu sewaktu mengunjungi Yamadera. Perjalanan ke Yamadera membawa saya ke alam transendental yang "vertikal". Di Matsushima, saya lebih merasakan perjalanan yang bersifat "horizontal", mengarungi sekat ruang waktu dan sejarah panjang Matsushima. 
Sejarah yang berkisah tentang bagaimana kuat dan tangguhnya Date Masamune dan pasukannya yang belum pernah kalah dalam puluhan peperangan, padahal salah satu dari matanya mempunyai pengelihatan yang tidak sempurna sehingga julukan Dokuganryuu disematkan padanya. Perjalanan "menyusuri" sejarah itu juga yang membawa saya melihat beberapa kuil yang dibangun oleh Date Masamune di Oushuu ( saat ini disebut sebagai Touhoku).

Berkat Date juga maka masyarakat, selain  bisa menyaksikan "keindahan" struktur bangunan yang dibangun pada saat itu, mereka juga bisa sedikit mengintip bagaimana pola pemikiran dan kehidupan masyarakat zaman dahulu. Termasuk juga menikmati keindahan pohon-pohon Pinus, bahkan pohon yang beberapa sudah berumur ratusan tahun. 
Pohon Onko yang kabarnya berumur lebih dari 700 tahun
Memang tidak ada suara riuh rendah orang, bisingnya suara mesin maupun gemerlap bangunan dan kemewahan disini. Namun anda bisa menemukan banyak hal yang tidak bisa anda dapat di kota besar, seperti merasakan keheningan tersendiri dan keteduhan ketika berjalan diantara pohon pinus dan merasakan hembusan angin laut. Terlebih, kita bisa menikmati keindahan hamparan pulau-pulau yang berbeda bentuknya antara satu dan lainnya.

Keindahan alam di Matsushima memang tak terbantahkan, seperti yang dikatakan oleh Sora, murid Basho yang setia menemaninya dalam perjalanan.
"Matsushima ya, Tsuru ni mi wo kare, Hototogisu."
Dia mengatakan bahwa Burung Jenjang (Tsuru) lebih pantas untuk terbang diantara keindahan alam Matsushima dengan  pinus yang menjulang tinggi dan hamparan pulau-pulau disini. Dia bahkan menyuruh Burung Lesser Cuckoo (Hototogisu) untuk menjadi Burung Jenjang saja.

Matsushima letaknya memang jauh, sekitar 360 Km di utara Tokyo, dan jarak tempuh 2 setengah jam jika kita naik kereta cepat shinkansen. Namun kalau menimbangnya dengan pengalaman yang bisa didapat, sekaligus bisa menikmati keindahan alam dan sejarahnya, maka tidak berlebihan jika saya merekomendasikan tempat ini sebagai salah satu destinasi wisata kalau nanti anda ada kesempatan untuk main ke Jepang.
Salah satu sudut pemandangan Matsushima

2018年7月12日木曜日

Napak Tilas Basho ke Yamadera, Perjalanan ke "Jagat Raya"

Sebagian dari Yamadera
Di Jepang, musim panas memang musim yang mengasyikkan karena kita bisa menikmati festival musim panas yang banyak diadakan di seantero Jepang. Tentu saya juga suka dan menikmati musim panas. Hanya saja, saya tidak begitu suka hawa panasnya karena kelembapan yang tinggi, sehingga keringat akan selalu mengucur deras serasa mandi uap walaupun kita berjalan di bawah teduhnya pepohonan.
Pada musim panas beberapa tahun yang lalu, saya melakukan perjalanan keliling daerah Tohoku, Jepang utara. Ada beberapa hal yang mendorong saya untuk melakukan perjalanan kesana.
Pertama, karena saya suka fotografi, memang saya sering berkeliling untuk sekedar mencari spot yang menarik untuk difoto. Tohoku sudah saya kenal sejak lama dari foto-foto yang bertebaran di internet, maupun yang saya lihat di majalah fotografi. Dari suasana yang terlihat dan rasakan dari foto-foto tersebut membuat saya kepingin mengunjunginya.
Kedua, dan yang membuat saya kemudian mempunyai keinginan yang amat sangat menggebu untuk pergi ke sana adalah, karena saya melihat foto-foto yang diambil oleh Michael Yamashita --seorang fotografer Amerika keturunan Jepang-- berkeliling di daerah Tohoku.
Suasana alam di sekitar Yamadera
Dia kemudian merilis foto yang diambil di perjalanannya dalam seri foto Basho's Trail. Saya langsung berkeinginan untuk "meniru"-nya, melakukan napak tilas perjalanan yang pernah dilakukan oleh Basho.
Basho, kependekan dari Matsuo Basho, merupakan penyair Haiku (Haikai) yang terkenal di era Edo awal. Basho bukan nama sebenarnya, melainkan nama yang dipakai dalam karya Haiku-nya. Nama aslinya adalah Munefusa (lengkapnya Matsuo Munefusa). Dia melakukan perjalanan di mana salah satu tempat yang disinggahi adalah daerah Tohoku, yang kemudian membukukan catatan perjalanannya dalam buku yang diberi judul Oku no Hosomichi
Di buku itu juga dia menuliskan banyak Haiku, yang kemudian menjadi dikenal dan populer di masyarakat sampai saat ini. Saya pernah mengambil satu semester mengikuti perkuliahan yang membahas karya Haiku dalam buku Oku no Hosomichi tersebut, walaupun sastra bukan bidang saya.
Salah satu bagian tangga menuju puncak (Dokumentasi Pribadi)
Salah satu bagian tangga menuju puncak
Karya Haiku dalam buku tersebut memang unik karena topik utamanya adalah tentang alam dan keindahannya, yang berlawanan 180 derajat dengan Haiku mainstream di masa itu yang kebanyakan mengusung tema gemerlap kemewahan. Deretan kata dalam karya Haiku dari Basho memang terlihat sederhana, namun mempunyai makna yang dalam.
Saya kemudian berpikir, dengan membacanya saja sudah bisa merasakan "keindahan" dan "makna" mendalam yang tersirat pada Haiku-nya. Apalagi kalau bisa mengunjungi langsung tempat-tempat dimana Basho menemukan inspirasi untuk menulis itu. Tentunya, "sensasi"-nya bisa bertambah. Dan ini merupakan alasan ketiga saya untuk mengunjungi Tohoku.
Di sini saya ingin bercerita tentang Yamadera, salah satu tempat di Tohoku yang pernah disinggahi Basho dan juga salah satu tempat dimana Basho mendapat inspirasi dan melahirkan satu Haiku yang terkenal yang berbunyi :
"shizukasaya,iwanisimiiru,seminokoe"
Yamadera kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah Kuil Gunung. Nama asli dari Yamadera adalah "Houjusan Rissyakuji." Tempat ini dibangun oleh Biksu yang bernama En-Nin atas perintah dari Kaisar Seiwa. Seluruh gunung adalah bagian dari kuil, dimana ada sekitar 30 kuil kecil yang terpisah satu sama lain di area sekitar 109 hektar. Ada sekitar 1000 lebih tangga batu dari pintu masuk (san-mon) sampai bagian kuil yang berada di puncak gunung yang disebut Oku-no-in. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk bisa mencapai puncak gunung.
Jalan bebatuan di area Yamadera
Letak Yamadera di prefektur Yamagata, yang berjarak kurang lebih 380 Km di utara Tokyo. Walaupun saat saya ke sana waktu musim panas, namun berbeda dengan Tokyo, di Yamagata tidak terasa panas dengan kelembapan tinggi. Mungkin karena saya berada di Yamadera yang memang merupakan sebuah gunung dengan banyak pepohonan yang tumbuh disitu sehingga banyak menghasilkan negative ion yang agak menyejukkan.
Tidak susah untuk mengunjungi Yamadera, karena untuk aksesnya kita bisa menggunakan kereta api. Stasiun terdekatnya bernama Yamadera juga, dan dari sini kita bisa berjalan kaki melewati sungai dan menikmati pemandangan alam, karena memang Yamadera letaknya jauh dari keramaian pusat kota. Kita bisa menemukan beberapa toko, dan juga warung yang menjual makanan sepanjang perjalanan dari stasiun. 
Sehingga kalau yang suka kuliner, bisa sambil mencicipi makanan khas daerah Yamagata seperti tama-konyaku (makanan dari tepung atau sari ubi yang kenyal) atau imoni (ubi yang direbus dengan daging dan sayuran).
Konponchuudou (Dokumentasi Pribadi)
Konponchuudou
Perjalanan di Yamadera dimulai dari pintu masuk gunung yang disebut touzanguchi. Di sini ada bangunan yang bernama Konponchuudo. Bangunannya mempunyai struktur atap yang disebut Irimoya-dzukuri, yang kerap kita jumpai pada bangunan kuil-kuil di Jepang. Yang membuat bangunan ini istimewa adalah, Konponchuudo di Yamadera merupakan bangunan tertua di Jepang yang dibuat dengan bahan kayu Buna (Fagus crenata). Karena itu bangunan ini ditetapkan sebagai salah satu dari National Treasure.
Di dalamnya, kita juga bisa melihat patung Yakushi Nyourai Zazou (Buddha duduk) yang dibuat oleh pendiri kuil dan Houto yang merupakan lentera yang (dibuat dan dijaga agar) tidak pernah padam sejak ratusan tahun yang lalu.
Kemudian berjalan beberapa meter dari Konponchuudo, ada toko kecil dan di situ tersedia beberapa bangku untuk tempat beristirahat. Karena banyak pohon yang besar, maka pengunjung tidak perlu takut kepanasan dan bisa makan camilan sambil beristirahat sebentar untuk mengisi tenaga sebelum naik ke puncak gunung. Saya juga beristirahat sebentar disini sambil membeli air mineral, untuk berjaga-jaga kalau nanti merasa haus dalam pendakian. 
Di dekatnya kita bisa menemukan patung Matsuo Basho dan prasasti batu dengan pahatan Haiku seperti yang saya tulis pada paragraf di atas.
Pemandangan ke bawah dengan Noukyoudou di kanan atas (Dokumentasi Pribadi)
Pemandangan ke bawah dengan Noukyoudou di kanan atas
Pendakian yang sebenarnya bermula dari gerbang Yamadera yang disebut san-mon. Di sini kita membayar biaya masuk sebesar 300 yen untuk naik ke atas gunung. Setelah melalui san-mon, tangga yang memanjang ke atas sudah menanti. Yamadera merupakan gunung cadas, dan dalam pendakian kita bisa menemukan banyak batu yang besar di sisi kiri dan kanan jalan yang kita lalui. 
Sebenarnya tidak semua jalan pendakian ke atas melalui tangga buatan, karena di beberapa tempat kita juga menemukan batu-batu yang memang sudah ada secara alami dan bisa kita gunakan untuk pijakan jalan. Karena ada lebih dari 30 buah kuil kecil yang terpisah, maka di beberapa tempat kita juga bisa berjalan menyamping menyusuri gunung untuk melihat beberapa dari kuil itu.
Kuil kecil di dalam lubang (Dokumentasi Pribadi)
Kuil kecil di dalam banyak gua
Tentu tidak semua kuil bisa kita kunjungi sekarang, karena ada beberapa yang lokasinya amat sangat sulit dicapai oleh orang "biasa." Beberapa dari kuil kecil ini ada dalam galian lubang di badan gunung, bahkan ada juga beberapa yang bertengger di tempat curam. Hal ini adalah biasa, karena memang Yamadera dahulunya digunakan sebagai tempat untuk penggemblengan orang-orang yang ingin menjadi obousan (biksu).
Sehingga mereka harus berjuang supaya lolos ujian dengan berjalan ke kuil-kuil yang letaknya amat susah dijangkau itu. Saat ini beberapa dari kuil ditutup untuk kunjungan, karena lokasinya berbahaya, terlebih beberapa juga sudah menelan korban karena jatuh di masa lalu.
Kira-kira di pertengahan jalan, kita bisa menemukan batu besar yang tingginya 4.6 meter yang disebut Midabora, yang bentuknya dikatakan mirip Amidanyourai (Buddha). Di sini banyak diukir nama orang yang telah meninggal, karena menurut kepercayaan setempat, arwah orang yang sudah meninggal akan kembali ke Yamadera.
Godaidou (Dokumentasi Pribadi)
Godaidou
Sebelum mencapai puncak gunung, ada tempat favorit yang saya suka di Yamadera yaitu bangunan yang bernama Godaidou. Dari sini kita bisa melihat pemandangan panorama keadaan sekeliling Yamadera.
Rasa penat karena naik ratusan tangga hilang dengan sekejap karena terbayar dengan pemandangan indah yang bisa kita saksikan. Bangunan Godaidou ini semua terbuat dari kayu (termasuk juga semua bangunan lainnya), dan letaknya menjorok ke depan. Walaupun dari kayu, hebatnya bangunan ini masih berdiri kokoh semenjak ratusan tahun yang lalu.
Di sebelahnya ada Kaisandou, yang di dalamnya ada patung kayu dari En-nin, Biksu yang membuka Yamadera. Di depan patungnya ditaruh dupa setiap pagi dan sore, dan masih dilakukan sampai sekarang.
Di halaman Kaisando ada Noukyoudou, yang merupakan bangunan tertua di Yamadera, yang digunakan untuk tempat menyimpan O-kyou (sutra). Warna merah Noukyoudou yang mencolok menjadikannya sebagai salah satu objek fotografi yang tidak bisa dilewatkan.
Akhirnya, pendakian berakhir di puncak gunung ketika kita sampai di bangunan yang bernama Oku-no-in. Kebetulan cuaca cerah ketika saya berkunjung ke sana. Suara serangga terdengar nyaring bersahutan karena memang di Jepang, serangga banyak yang mengeluarkan bunyi ketika musim panas.
Saya merenungkan kembali makna dari Haiku Basho di puncak gunung ini. Terjemahan bebas dari Haiku-nya adalah "di dalam keheningan, suara serangga masuk ke dalam batu". Kenapa Basho mengatakan hening, padahal Basho kesini saat musim panas juga. Jadi dia pasti sama keadaannya seperti saya saat itu, mendengar banyak suara serangga (bahkan waktu itu mungkin lebih berisik).
Oku-no-in (Dokumentasi Pribadi)
Oku-no-in
Kemudian saya melihat langit yang terasa begitu dekat di atas karena memang saya berada di puncak tertinggi gunung. Cuaca cerah ketika saya berkunjung dan langit yang biru membentang di atas kepala menambah rasa kedekatan itu.
Lalu saya berpikir, mungkin saat Basho sampai di puncak gunung seperti saya sekarang ini, dia (merasa) "terbang" dan kemudian merasakan keheningan yang mendalam dari "atas sana", walaupun "di bawah" banyak serangga yang berbunyi. Pastinya skala ukuran yang dia pakai ketika merasakan "keheningan" itu bukan lah dunia, melainkan sudah melampaui itu, bahkan sampai ke jagat raya.
Kita memang sering menjadi seperti serangga yang berbunyi riuh rendah dalam hidup sehari-hari di dunia. 
Namun mungkin ada saatnya kita harus menarik diri dari keriuh rendahan ini, untuk merasakan kesunyian, yang dimensinya jauh dan melampaui keriuh rendahan itu sendiri. Dan melalukan hal-hal yang tidak melulu duniawi, dengan cara yang bisa dipilih oleh masing-masing orang menurut kemampuannya.
Pemandangan panorama dari Godaidou (Dokumentasi Pribadi)
Pemandangan panorama dari Godaidou

2018年7月9日月曜日

Pajak Turis dan Peraturan Akomodasi Baru di Jepang, Bak Buah Simalakama?

Lokasi yang dipakai untuk gambar fuji pada uang 1000 yen (Dokumentasi Pribadi)
Lokasi yang dipakai untuk gambar fuji pada uang 1000 yen
Bulan Mei yang lalu, A.T. Kearney--perusahaan konsultan manajemen global-- merilis dokumen tentang Global City Index (GCI) yang menunjukkan berapa "unggul"nya sebuah kota dalam hal seperti kemudahan melakukan bisnis, kecanggihan pertukaran informasi, pengalaman budaya dan lainnya yang kriterianya dibagi lebih detail menjadi 27 butir.
Tokyo menempati urutan ke-4 untuk GCI yang dirilis itu. Meskipun bukan yang terbaik, namun Tokyo bisa menduduki posisi tersebut selama 6 tahun berturut-turut.
Kita semua tahu bahwa Tokyo hanyalah salah satu nama dari kota besar di Jepang, selain misalnya Sapporo, Sendai, Nagoya, Kyoto, Osaka, Fukuoka, dan Okinawa yang berlokasi di paling selatan. Kota-kota tersebut selain menjadi pusat bisnis, tentunya juga menjadi tujuan wisata, baik bagi turis lokal maupun mancanegara.
Menurut data yang diolah oleh Litbang JTB (data asalnya dari Badan Pariwisata Jepang), total jumlah turis mancanegara yang masuk ke Jepang pada tahun 2017 adalah sekitar 28,7 juta orang. Dari data yang sama, kita bisa melihat bahwa total jumlah turis yang berkunjung ke Jepang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang signifikan, terutama lonjakan drastis total jumlah turis yang masuk ke Jepang dimulai pada tahun 2013.
Tahun ini saja, sampai bulan April 2018 yang lalu, sudah tercatat total kira-kira 3 juta orang yang berkunjung ke Jepang. Jumlah ini lebih banyak sekitar 12,5 persen dibandingkan jumlah total turis yang berkunjung pada bulan April tahun 2017.
Dalam hitungan 3 juta orang itu, termasuk juga sekitar 43 ribu orang Indonesia. Tampaknya memang Jepang menjadi salah satu destinasi favorit orang Indonesia saat ini, di Asia selain Singapura. 
Saya sering berpapasan dengan rombongan (saya sebut rombongan karena memang kebanyakan turis Indonesia yang saya temui bergerombol lebih dari 2) orang Indonesia saat pergi ke kantor, maupun saat jalan-jalan pagi (atau sore) di hari libur. 
Sekadar catatan, jumlah turis yang masuk ke Jepang dari negara tetangga kita Singapura--yang merupakan salah satu negara tujuan favorit orang Indonesia untuk berlibur--masih dibawah Indonesia, yaitu tercatat sebanyak 37,6 ribu orang.
Roppongi Hat, Tokyo (Dokumentasi Pribadi)
Roppongi Hat, Tokyo
Pariwisata Jepang 2020
Tahun 2020 merupakan saat yang ditunggu bukan hanya oleh Jepang beserta warganya, juga oleh warga dunia karena pesta olahraga paling bergengsi musim panas yaitu Olimpiade, akan dibuka dan diselenggarakan di Tokyo.
Untuk mengantisipasi momen tersebut, Badan Pariwisata Jepang (Japan Tourism Agency) telah mencanangkan visi yang jelas yaitu menjadikan pariwisata sebagai salah satu industri penunjang pertumbuhan ekonomi Jepang. 
Pemerintah Jepang tidak main-main dalam hal ini, karena mereka mencanangkan target jumlah total kunjungan wisatawan pada tahun 2020 sebanyak 40 juta orang! Padahal, total jumlah turis yang berkunjung pada tahun 2017 "hanya" sekitar 28 juta orang. Ini artinya, (pemerintah) Jepang hanya memiliki waktu kurang lebih 2 tahun untuk "mendongkrak" tambahan 12 juta orang wisatawan sampai tahun 2020.
Untuk mencapai target itu, salah satu usaha pemerintah adalah membangun infrastruktur penunjang industri pariwisata. Terutama yang menjadi perhatian pemerintah adalah infrastruktur di titik masuk wisatawan, yaitu pada antrean imigrasi, baik itu di darat (bandara) maupun laut (pelabuhan). 
Pemerintah Jepang menggelontor dana sekitar 2 milyar yen untuk pembangunan infrastruktur yang digunakan di pos-pos imigrasi. Dana itu selain digunakan untuk menambah personel yang menangani CIQ (Custom, Immigration, Quarantine) di titik masuk turis, juga digunakan untuk penambahan alat baru. Misalnya instalasi gate elektronik, dimana pemerintah rencananya akan memasang sekitar 137 alat baru untuk deteksi wajah otomatis agar arus antrian di imigrasi bisa menjadi lebih cepat dan lancar. 
Salah satu sudut pemandangan area di Yuurakucho-Ginza (Dokumentasi Pribadi)
Salah satu sudut pemandangan area di Yuurakucho-Ginza
Aplikasi baru untuk smartphone juga akan dibuat agar memudahkan orang saat mengantre di Bea dan Cukai, dimana (calon) wisatawan, misalnya  bisa melakukan proses administrasi Bea Cukai diperjalanan (di dalam pesawat terbang maupun dalam kapal laut).
Keamanan tentu juga menjadi bagian yang penting. Saat ini Jepang sedang membuat alat deteksi baru yang berbentuk terowongan besar dengan menggunakan X-Ray, yang diharapkan bisa dengan efektif dan cepat (serta tepat) mendeteksi semua barang bawaan yang dibawa turis. 
Tidak ketinggalan akomodasi, yang tentunya menjadi salah satu hal yang perlu dipersiapkan. Setelah Tokyo ditetapkan sebagai tempat penyelenggaraan Olimpiade pada tahun 2013, maka langsung tahun berikutnya para pelaku bisnis perhotelan merencanakan untuk membangun kurang lebih 50 hotel baru di Tokyo
Daerah penyangga sekitar Tokyo seperti Saitama, Kanagawa, Chiba, bahkan sampai daerah yang agak jauh seperti Nagano, Gunma, Niigata dan Yamanashi juga membenahi sarana akomodasi mereka untuk menampung turis yang diprediksi akan meningkat.
Konektivitas merupakan bagian yang penting dari pola hidup masyarakat modern saat ini, sehingga pemerintah Jepang pun sedang berusaha untuk menambah lokasi (spot) yang menyediakan koneksi WiFi gratis. Lebih dari itu, bahkan Jepang akan menjadikan Olimpiade 2020 sebagai showcase-nya teknologi telepon seluler 5G!
Bagi anda yang sering tersesat ketika bepergian, tidak perlu khawatir lagi. Saat ini Google Map sudah menyediakan street view untuk 13 stasiun kereta bawah tanah Tokyo Metro. Jadi tidak perlu takut soal kehabisan energi, bingung mondar-mandir di stasiun kereta bawah tanah di Tokyo, karena bisa pakai fasilitas ini untuk panduan menuju ke pintu keluar stasiun.
Penari Awa Odori (Dokumentasi Pribadi)
Penari Awa Odori
Dilema Pariwisata Jepang
Mulai Januari tahun 2019, Jepang akan memberlakukan pajak baru yang bernama International Tourist Tax. Sistemnya, turis yang akan meninggalkan Jepang ditarik biaya 1000 yen saat keberangkatan. Walaupun namanya pajaknya "International", namun bagi orang Jepang yang akan bepergian keluar negeri pun juga dibebani biaya ini.
Sebenarnya banyak polemik yang terjadi sebelum pajak ini disahkan di Parlemen. Misalnya belum ada informasi yang jelas tentang bagaimana rencana penggunaan dana yang terkumpul dari pajak ini. Lalu tentang besaran pajak sebesar 1000 yen, masyarakat masih belum paham bagaimana hitungannya sehingga bisa keluar angka "1000." 
Ada juga orang yang heran, apa alasannya pajak ini dipukul rata untuk semua turis tanpa melihat jenis kelas tiket yang dipunyai. Misalnya turis yang menggunakan LCC (Low Cost Carrier) dengan harga tiket 8000 yen tentunya "berat" untuk membayar 1000 yen karena besarannya mencapai 12,5 persen dari harga tiket. Dibandingkan dengan turis yang menggunakan kelas bisnis dengan harga tiket 200.000 yen, besarannya "hanya" sekitar 0,5 persen dari harga tiket.
Kemudian pada tanggal 15 Juni 2018, pemerintah juga memberlakukan undang-undang baru untuk minpaku, yaitu bagi orang yang ingin berbisnis menyewakan rumah/apartemennya untuk penginapan. Peraturan minpaku yang baru sangat ketat, misalnya pemilik apartemen hanya bisa menyewakan apartemennya selama 180 hari dalam setahun. 
Banyak efek negatif yang ditimbulkan akibat peraturan baru ini, sehingga jumlah apartemen yang tadinya disewakan untuk penginapan menjadi berkurang drastis. Contohnya, salah satu site yang terkenal untuk minpaku yaitu airbnb, dikatakan menghapus setengah dari apartemen yang terdaftar karena pemilik apartemen tidak bisa memenuhi syarat dari undang-undang baru itu.
Tari Yosakoi yang banyak diminati oleh turis (Dokumentasi Pribadi)
Tari Yosakoi yang banyak diminati oleh turis
Turis biasanya senang dengan akomodasi murah, karena yang mereka inginkan hanya mau jalan-jalan. Sehingga kualitas tidur tidak menjadi pertimbangan utama, tentunya bagi sebagian orang. Lalu bagi turis yang senang menggunakan LCC, maka beban tambahan 1000 yen bisa membuat pening kepala. Apalagi turis yang biasanya liburan rombongan dengan keluarga.
Pemerintah bak makan buah simalakama
Di satu sisi, dana (yang segar dan baru) mutlak dibutuhkan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi turis. Kalau masalah pelayanan, memang tidak usah diragukan lagi, Jepanglah jagonya. 
Pengalaman saya sendiri, kata-kata "pembeli (baik jasa, barang, makanan dan lainnya) adalah raja", bukanlah isapan jempol karena nyata bisa kita rasakan disini.
Di sisi lain, dua hal telah saya bahas di paragraf sebelumnya (pajak turis dan undang-undang baru minpaku), bisa membuat turis yang ingin mengunjungi Jepang berpikir dua kali. Bahkan bisa saja terjadi kemungkinan yang terburuk, yaitu mereka membatalkan kunjungannya.
Nah, apakah "magnet daya tarik" Jepang masih tetap bisa mendongkrak jumlah kunjungan turis pada tahun-tahun berikutnya, mengalahkan fobia (calon) turis pada pajak turis dan undang-undang baru minpaku, yang dikhawatirkan akan menjangkit warga dunia? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.